Minggu, 25 Desember 2011

SEJARAH KELAHIRAN MAKASSAR

Posted by PMTS Makassar 00.16, under | No comments

    
    Sampai pada abad X, sejarah negeri Makassar masih gelap dan sangat kurang tanda-tanda yang dapat memberikan harapan akan tersingkapnya masa gelap abad-abad lalu itu, Gowa ataupun makassar belum di temukan jejak-jejaknya pada abad XI dan bahkan sampai abad XII. Barulah kemudian, sebuah buku dari peradaban di Pulau Jawa, Negarakretagama yang di tulis prapanca pada masa Gadjah Mada (1364), di temukan perkataan Makassar. Dalam buku itu disebutkan, bahwa daerah taklukan kerajaan Majapahit juga meliputi Makassar.
   Beberapa petikan kalimat yang menyebut tentang negeri-negeri di Sulawesi Selatan yang menjadi daerah taklukan Kerajaan Majapahit sebagai berikut :

Muah tanah i Bantayan pramuka Bantayan len Luwuk Tentang Udamakatrayadhi nikanang sanusaspupul Ikangsakasanusa Makassar Butun Banggawi Kuni Craliyao Nwangi Selaya Sumba Soto Muar, dsb

Maksudnya :

Seluruh Sulawesi Selatan menjadi daerah keempat kerajaan Majapahit yaitu : Bantayan (Bantaeng), Luwuk (Luwu), Udamakatraya (Talaud), Makassar (Makassar) Butun (Buton), Banggawi (Banggai), Kunir (Pulau Kunyit), Selaya (Selayar), Solot (Solor), dan seterusnya.

    Apakah yang dimaksud Makassar dalam Negarakertagama itu adalah sebuah negeri, seperti yang di pahami dengan tempat, yang di sebut kota makassar sekarang? tidak di temukan penjelasan lebih lanjut. Tetapi bila di maksud Makassar sebagai sebuah negeri adalah jelas, seperti halnya Bantayan (Bantaeng), Butun (Buton) dan sebagainya, niscaya letaknya di Sulawesi Selatan.
    Tahun 1479, runtuhnya negara Majapahit sebagai organisasi politik yang meliputi Tanah Air Indonesia berarti lumpuh dan lajunya peradaban kehidupan pada permulaan abad XVI. Dengan segera peradaban Indonesia dalam zaman peralihan ini di susun kembali oleh bangsa Indonesia dengan menurutkan pengaruh baru yang berpusat rohani kepada agama Islam dan kristen yang mulai berkembang abad XVI, maka peruntuhan Majapahit dalam waktu yang lamanya kira-kira tiga perempat abad, dapatlah disusun kembali di sekeliling Mataram di Jawa Tengah.
   Pertentangan menghadapi kekuasaan penjajahan Spanyol, Portugis, dan Belanda menjalankan tekanan dan tusukan yang barulah berakhir setelah pergerakan kemerdekaan Nasional mendapat kemenangan pada hari Proklamasi 1945. Dengan segera peradaban Indonesia dalam zaman peralihan ini (permulaan abad XVI), disusun kembali oleh bangsa Indonesia dengan mengikuti pengaruh baru yang berpusat rohani kepada Islam dan Kristen menunjukkan dengan jelas bahwa Makassar dengan pasti ikut serta dalam penyusunan nasional di bagian Nusantara, dengan menerima serta menghayati pengaruh baru itu, yang berpusat rohani pada ajaran Islam.
    Adapun tonggak peristiwa yang terpenting bagi kota Makassar dalam menyatakan diri pada pengikutsertaan itu ialah 9 November 1607.  Dipandang dari sudut hasrat orang Makassar untuk menyatakan dan menghormati peristiwa penting itu, dapat di jumpai pada ungkapan-ungkapan mereka terhadap peristiwa tersebut dengan hanya menyebut :

      Nanikana Mangkasara’, Ka-Nabbija Mangkasara’ Anrini !
      Maka disebut Makassar, karena di sinilah Nabi, menyatakan diri.

   Kalimat tersebut menyatakan suatu realita penjelmaan ajaran Muhammad Rasulullah di negeri ini. Di makassar-lah realita itu dimulai. Kegemaran orang Makassar dalam mengunakan ungkapan-ungkapan dalam bahasanya, sudah banyak di ketahui dan sampai hari ini pun kegemaran itu masih terpelihara. Bahwa demikian mendalamnya tertanam dalam kalbu orang Makassar hubungan kota Mangkasara’-nya ajaran Nabi Muhammad dalam realita kehidupan mereka, sehingga mereka pun memertalikannya dengan kebesaran dan kedalaman ilmu yang dimiliki oleh Syech Yusuf, mereka katakan :

     Umbarang nia inja Nabbi Ribokoanna Nabbi Muhamma’
     Tuanta Salama ka mintu nabbi Ribokoanna.
     Andai kata masih ada Nabi sesudah Nabi Muhammad
     Maka tuwanta Salamaka Syech Yusuf nabi sesudahnya.

    Bilamana kota Makassar hendak menemukan dirinya dalam semangat nasional, dan menempatkan dirinya dalam mata rantai atau kerangka bangunan babakan waktu sejarah yang mempunyai akarnya pada semangat nasional, maka 9 November 1607 itulah yang patut di tetapkannya sebagai hari kehadirannya. Dalam rangka semangat Makassar 9 November 1607, dengan segala rasa kagum dapat memerhatikan betapa sebuah ibu kota menjadi pusat kecintaan rakyat seluruh wilayah kerajaan.
    Betapa banyak dicatat dalam lontara’ dan arsip-arsip Belanda, bahwa hampir semua peristiwa yang menyangkut hubungan negeri ini keluar, kota Makassar-lah yang di depankan namanya. Tempat baginda raja-raja Gowa bersemayam dalam kasteel Somba Opu di Kota Makassar.
    Ujungpandang atau Jumpandang, adalah salah satu bagian kecil dari bandar Makassar dalam semangat 9 November 1607. Barulah setelah perjanjian Bongaya (18 November 1667), ketika Belanda menduduki Benteng Ujung Pandang dan mengganti namanya menjadi Vlaardingen, semuanya itu untuk memeringati jasa Speelman, maka di sekitar tempat-tempat itulah menjadi pusat kegiatan dan keramaian. Bagian inilah bersama daerah-daerah perkampungan sekitarnya yang di sebut Bontoala dan Kanrobosi, menjadi peserta yang terpenting dalam pembangunan baru yang di selenggarakan oleh Belanda
    Semua bagian yang ramai itu, yang berpusat pada kota Vlaardingen, karena sukarnya disebut lidah Makassar, maka kabarnya ada yang menyebutnya Palandingang, tetapi sebagaian besarnya menyebut Ujung Pandang saja. Orang-orang Bugis dari pedalaman terutama orang Bone yang mengikuti kebesaran Bone berpindah ke Bontoala, menyebut bagian kota Makassar yang di duduki Belanda dan Arung Palakka, Juppandang/Jumpandang, yang menjadi pusat kegiatan politik ekonomi berada di bawah pengaruh dan kekuasaan Belanda.
     Karena Jumpandang menjadi pusat kekuasaan Belanda di negeri ini yang sudah di rubah namanya menjadi Fort Rotterdam dan Vlaardingen, maka Jumpandang-lah dalam waktu singkat berikutnya menjadi sebutan umum masyarakat yang meliputi wilayah bekas ibu kota kerajaan kembar (Gowa-Tallo) dikurangi daerah-daerah bekas Benteng Somba Opu, Mangallekana, dan Panakkukang yang telah menjadi kampung-kampung sepi dan mati.
    Ketika Belanda dapat menstabilisir keadaan di kota ini dan tersusunnya organisasi kekuasaan Hindia-Belanda, maka pada 1 April 1906, Makassar dalam isi seperti itu dijadikan gemeente dalam struktur organisasi kekuasaan Hindi-Belanda. Dalam semangat kolonial, kota makassar di sempitkan ke pengertian Ujung Pandang dan kampung-kampung sekitarnya, agar terhapus kenangan kepada Makassar dalam arti yang sesungguhnya.
   Tetapi dalam semangat Nasional, yang bertitik tumpu pada tonggak peristiwa 9 November 1607, Makassar adalah Bandar niaga Makassar, yang berwilayah dari Panakkukang di Selatan sampai Mangara’bombang di ujung Timur Tallo dan Somba Opu menjadi titik sentralnya. Dalam semangat itu, kita bertolak dari Makassar ke Makassar dalam arti sesungguhnya.  
    Kerajaan Gowa adalah kerajaan terbesar dan terkuat di kawasan Indonesia timur. Kerajaan yang didiami oleh etnis suku mangkasara’ yang berjiwa penakluk namun demokratis dalam memerintah gemar berperang dan jaya di laut. Tak heran pada abad ke-14-17, dengan simbol Kerajaan Gowa, mereka berhasil membentuk satu wilayah kerajaan yang luas dengan kekuatan armada laut yang besar berhasil membentuk suatu Imperium bernafaskan ISLAM, mulai dari keseluruhan pulau Sulawesi, kalimantan bagian Timur, NTT, NTB, Maluku, Brunei, Papua dan Australia bagian utara. Mereka menjalin Traktat dengan Bali, kerjasama dengan Malaka dan Banten dan seluruh kerajaan lainnya dalam lingkup Nusantara maupun Internasional (khususnya Portugis). Kerajaan ini juga menghadapi perang yang dahsyat dengan Belanda hingga kejatuhannya akibat adu domba Belanda terhadap kerajaan taklukannya.
    Berbicara tentang Makassar maka adalah identik pula dengan suku Bugis yang serumpun. Istilah Bugis dan Makassar adalah istilah yang diciptakan oleh Belanda untuk memecah belah. Hingga pada akhirnya kejatuhan Kerajaan Makassar pada Belanda, segala potensi dimatikan, mengingat suku ini terkenal sangat keras menentang Belanda. Di mana pun mereka bertemu Belanda, pasti diperanginya. Beberapa tokoh sentral Gowa yang menolak menyerah seperti Karaeng Galesong, hijrah ke Tanah Jawa. Bersama armada lautnya yang perkasa, memerangi setiap kapal Belanda yang mereka temui. Oleh karena itu, Belanda yang saat itu dibawah pimpinan Spellman menjulukinya dengan "Si-Bajak-Laut".

0 komentar:

Posting Komentar