Sampai
pada abad X, sejarah negeri Makassar masih gelap dan sangat kurang tanda-tanda
yang dapat memberikan harapan akan tersingkapnya masa gelap abad-abad lalu itu,
Gowa ataupun
makassar belum di temukan jejak-jejaknya pada abad XI dan bahkan sampai abad XII.
Barulah kemudian, sebuah buku dari peradaban di Pulau Jawa, Negarakretagama
yang di tulis prapanca pada masa Gadjah Mada (1364), di temukan perkataan
Makassar. Dalam buku itu disebutkan, bahwa daerah taklukan kerajaan Majapahit
juga meliputi Makassar.
Beberapa
petikan kalimat yang menyebut tentang negeri-negeri di Sulawesi Selatan yang
menjadi daerah taklukan Kerajaan Majapahit sebagai berikut :
Muah tanah i Bantayan pramuka Bantayan len Luwuk Tentang
Udamakatrayadhi nikanang sanusaspupul Ikangsakasanusa Makassar Butun Banggawi
Kuni Craliyao Nwangi Selaya Sumba Soto Muar, dsb
Maksudnya
:
Seluruh
Sulawesi Selatan menjadi daerah keempat kerajaan Majapahit yaitu : Bantayan
(Bantaeng), Luwuk (Luwu), Udamakatraya (Talaud), Makassar (Makassar) Butun
(Buton), Banggawi (Banggai), Kunir (Pulau Kunyit), Selaya (Selayar), Solot
(Solor), dan seterusnya.
Apakah
yang dimaksud Makassar dalam Negarakertagama itu adalah sebuah negeri, seperti
yang di pahami dengan tempat, yang di sebut kota makassar sekarang? tidak di
temukan penjelasan lebih lanjut. Tetapi bila di maksud Makassar sebagai sebuah
negeri adalah jelas, seperti halnya Bantayan (Bantaeng), Butun (Buton) dan
sebagainya, niscaya letaknya di Sulawesi Selatan.
Tahun 1479, runtuhnya
negara Majapahit sebagai organisasi politik yang meliputi Tanah Air Indonesia
berarti lumpuh dan lajunya peradaban kehidupan pada permulaan abad XVI. Dengan
segera peradaban Indonesia dalam zaman peralihan ini di susun kembali oleh
bangsa Indonesia dengan menurutkan pengaruh baru yang berpusat rohani kepada
agama Islam dan kristen yang mulai berkembang abad XVI, maka peruntuhan
Majapahit dalam waktu yang lamanya kira-kira tiga perempat abad, dapatlah
disusun kembali di sekeliling Mataram di Jawa Tengah.
Pertentangan
menghadapi kekuasaan penjajahan Spanyol, Portugis, dan Belanda menjalankan
tekanan dan tusukan yang barulah berakhir setelah pergerakan kemerdekaan
Nasional mendapat kemenangan pada hari Proklamasi 1945. Dengan segera peradaban
Indonesia dalam zaman peralihan ini (permulaan abad XVI), disusun kembali oleh
bangsa Indonesia dengan mengikuti pengaruh baru yang berpusat rohani kepada
Islam dan Kristen menunjukkan dengan jelas bahwa Makassar dengan pasti ikut
serta dalam penyusunan nasional di bagian Nusantara, dengan menerima serta
menghayati pengaruh baru itu, yang berpusat rohani pada ajaran Islam.
Adapun
tonggak peristiwa yang terpenting bagi kota Makassar dalam menyatakan diri pada
pengikutsertaan itu ialah 9 November 1607.
Dipandang dari sudut hasrat orang Makassar untuk menyatakan dan
menghormati peristiwa penting itu, dapat di jumpai pada ungkapan-ungkapan
mereka terhadap peristiwa tersebut dengan hanya menyebut :
Nanikana Mangkasara’, Ka-Nabbija Mangkasara’ Anrini !
Maka disebut Makassar, karena di sinilah Nabi, menyatakan diri.
Kalimat
tersebut menyatakan suatu realita penjelmaan ajaran Muhammad Rasulullah di
negeri ini. Di makassar-lah realita itu dimulai. Kegemaran orang Makassar dalam
mengunakan ungkapan-ungkapan dalam bahasanya, sudah banyak di ketahui dan
sampai hari ini pun kegemaran itu masih terpelihara. Bahwa demikian mendalamnya
tertanam dalam kalbu orang Makassar hubungan kota Mangkasara’-nya ajaran Nabi
Muhammad dalam realita kehidupan mereka, sehingga mereka pun memertalikannya
dengan kebesaran dan kedalaman ilmu yang dimiliki oleh Syech Yusuf, mereka
katakan :
Umbarang
nia inja Nabbi Ribokoanna Nabbi Muhamma’
Tuanta
Salama ka mintu nabbi Ribokoanna.
Andai
kata masih ada Nabi sesudah Nabi Muhammad
Maka
tuwanta Salamaka Syech Yusuf nabi sesudahnya.
Bilamana
kota Makassar hendak menemukan dirinya dalam semangat nasional, dan menempatkan
dirinya dalam mata rantai atau kerangka bangunan babakan waktu sejarah yang
mempunyai akarnya pada semangat nasional, maka 9 November 1607 itulah yang
patut di tetapkannya sebagai hari kehadirannya. Dalam rangka semangat Makassar
9 November 1607, dengan segala rasa kagum dapat memerhatikan betapa sebuah ibu
kota menjadi pusat kecintaan rakyat seluruh wilayah kerajaan.
Betapa
banyak dicatat dalam lontara’ dan arsip-arsip Belanda, bahwa hampir semua
peristiwa yang menyangkut hubungan negeri ini keluar, kota Makassar-lah yang di
depankan namanya. Tempat baginda raja-raja Gowa bersemayam dalam kasteel Somba
Opu di Kota Makassar.
Ujungpandang
atau Jumpandang, adalah salah satu bagian kecil dari bandar Makassar dalam
semangat 9 November 1607. Barulah setelah perjanjian Bongaya (18 November
1667), ketika Belanda menduduki Benteng Ujung Pandang dan mengganti namanya
menjadi Vlaardingen, semuanya itu untuk memeringati jasa Speelman, maka di
sekitar tempat-tempat itulah menjadi pusat kegiatan dan keramaian. Bagian inilah
bersama daerah-daerah perkampungan sekitarnya yang di sebut Bontoala dan
Kanrobosi, menjadi peserta yang terpenting dalam pembangunan baru yang di
selenggarakan oleh Belanda
Semua
bagian yang ramai itu, yang berpusat pada kota Vlaardingen, karena sukarnya
disebut lidah Makassar, maka kabarnya ada yang menyebutnya Palandingang, tetapi
sebagaian besarnya menyebut Ujung Pandang saja. Orang-orang Bugis dari
pedalaman terutama orang Bone yang mengikuti kebesaran Bone berpindah ke
Bontoala, menyebut bagian kota Makassar yang di duduki Belanda dan Arung
Palakka, Juppandang/Jumpandang, yang menjadi pusat kegiatan politik ekonomi
berada di bawah pengaruh dan kekuasaan Belanda.
Karena
Jumpandang menjadi pusat kekuasaan Belanda di negeri ini yang sudah di rubah namanya
menjadi Fort Rotterdam dan Vlaardingen, maka Jumpandang-lah dalam waktu singkat
berikutnya menjadi sebutan umum masyarakat yang meliputi wilayah bekas ibu kota
kerajaan kembar (Gowa-Tallo) dikurangi daerah-daerah bekas Benteng Somba Opu,
Mangallekana, dan Panakkukang yang telah menjadi kampung-kampung sepi dan mati.
Ketika
Belanda dapat menstabilisir keadaan di kota ini dan tersusunnya organisasi
kekuasaan Hindia-Belanda, maka pada 1 April 1906, Makassar dalam isi seperti
itu dijadikan gemeente dalam struktur organisasi kekuasaan Hindi-Belanda. Dalam
semangat kolonial, kota makassar di sempitkan ke pengertian Ujung Pandang dan
kampung-kampung sekitarnya, agar terhapus kenangan kepada Makassar dalam arti yang
sesungguhnya.
Tetapi
dalam semangat Nasional, yang bertitik tumpu pada tonggak peristiwa 9 November
1607, Makassar adalah Bandar niaga Makassar, yang berwilayah dari Panakkukang
di Selatan sampai Mangara’bombang di ujung Timur Tallo dan Somba Opu menjadi
titik sentralnya. Dalam semangat itu, kita bertolak dari Makassar ke Makassar
dalam arti sesungguhnya.
Kerajaan
Gowa adalah kerajaan terbesar dan terkuat di kawasan Indonesia timur. Kerajaan
yang didiami oleh etnis suku mangkasara’ yang berjiwa penakluk namun demokratis
dalam memerintah gemar berperang dan jaya di laut. Tak heran pada abad ke-14-17, dengan simbol Kerajaan Gowa, mereka berhasil membentuk satu
wilayah kerajaan yang luas dengan kekuatan armada laut yang besar berhasil
membentuk suatu Imperium bernafaskan ISLAM, mulai dari
keseluruhan pulau Sulawesi, kalimantan bagian Timur, NTT, NTB, Maluku, Brunei,
Papua dan Australia bagian utara. Mereka menjalin Traktat dengan Bali,
kerjasama dengan Malaka dan Banten dan seluruh kerajaan lainnya
dalam lingkup Nusantara maupun Internasional (khususnya Portugis). Kerajaan ini
juga menghadapi perang yang dahsyat dengan Belanda hingga kejatuhannya akibat
adu domba Belanda terhadap kerajaan taklukannya.
Berbicara
tentang Makassar maka adalah identik pula dengan suku Bugis yang serumpun. Istilah Bugis dan
Makassar adalah istilah yang diciptakan oleh Belanda untuk memecah belah. Hingga pada
akhirnya kejatuhan Kerajaan Makassar pada Belanda, segala potensi dimatikan,
mengingat suku ini terkenal sangat keras menentang Belanda. Di mana pun mereka
bertemu Belanda, pasti diperanginya. Beberapa tokoh sentral Gowa yang menolak
menyerah seperti Karaeng
Galesong, hijrah ke Tanah Jawa. Bersama armada lautnya yang perkasa,
memerangi setiap kapal Belanda yang mereka temui. Oleh karena itu, Belanda yang
saat itu dibawah pimpinan Spellman
menjulukinya dengan "Si-Bajak-Laut".
0 komentar:
Posting Komentar