Minggu, 25 Desember 2011

TEAI MANGKASARA PUNNA BOKONA LOKO'

Posted by PMTS Makassar 03.48, under | 4 comments


Ini merupakan sifat ksatria yang dimilki oleh orang Makassar terungkap dalam ungkapan :

" Teai Mangkasara punna bokona loko "
   Artinya :
" Bukan orang Makassar kalau yang luka itu adalah bagian belakangnya "

Sebagai orang Makassar, bila sudah melakukan duel maut mereka pantang dan haram lari sebab bila mereka lari berarti penakut dan bisa dicap sebagai bencong atau orang ballorang (penakut). 

Kalaupun lari, akan tergambar dari pihak lawannya, pihak lawan akan memberinya hadiah dengan menancap Badik di belakangnya, yang berarti luka ada di bagian belakang dan bila luka ada di bagian belakang berarti mereka bukan orang Makassar.

Namun bilamana lukanya ada di depan, menandakan mereka adalah seorang ksatria, pemberani. Kalaupun mati, itu namanya mati terhormat. Orang Makassar bilang Mate Nigollai atau Mate Nisantanggi ( Mati diberi gula atau diberi santan ).

KERAJAAN GOWA PADA MASA SULTAN HASANUDDIN

Posted by PMTS Makassar 02.50, under | No comments


Sejak Sultan Hasanuddin naik tahta pada bulan November 1653, Sultan dihadapkan pada pergolakan. Pertempuran prajurit Kerajaan Gowa melawan Belanda di Buton terus berkobar, pertempuran ini dipimpin langsung oleh Sultan Hasanuddin. Dalam serangan itu, benteng pertahanan Belanda di Buton berhasil direbut serta menawan sebanyak 35 orang Belanda.

Satu tahun lamanya, Sultan Hasanuddin mengendalikan pemerintahan, Mangkubumi Kerajaan Gowa Karaeng Pattingalloang wafat pada 15 september 1645. Beliau kemudian digantikan oleh putranya bernama Karaeng Karunrung. 

Belanda melihat, perang dengan Kerajaan Gowa telah banyak menelan biaya, demikian halnya di sektor perdagangan telah banyak mengalami kerugian. Belanda kemudian membuat siasat ingin damai. Pada tanggal 23 Oktober 1655 Belanda mengutus Willem Van den Berg dan seorang berkebangsaan Armenia bernama Choja Sulaeman untuk menghadap Sultan dan menyampaikan pesan Jenderal Maestsuyker. Perundingan itu berlangsung 28 Desember 1655 dimana tuntutan Belanda:
  • Orang-orang Makassar yang ada di Maluku boleh kembali ke  negerinya. 
  • Raja Gowa boleh menagih utang piutangnya di Ambon. 
  • Orang-orang tawanan dari kedua belah pihak harus diserahkan pada   pihak masing-masing. 
  • Musuh-musuh dari Belanda tidak akan menjadi musuh dari Kerajaan  Gowa. 
  • Belanda tidak akan mencampuri perselisihan diantara orang-orang Makassar. 
  • Belanda boleh menangkap semua orang Makassar yang didapati  berlayar di Perairan Maluku.
Tuntutan Belanda itu dinilai oleh Sultan sangat merugikan Gowa, karenanya ditolak. Sultan malah menantang perang, ia didukung oleh Mangkubuminya karaeng Karunrung, Karaeng Galesong, serta Karaeng Bontomarannu untuk unjuk kekuatan. Dari tantangan itu, Belanda juga meningkatkan kekuatannya sebuah armada bantuan dari Batavia yang dipimpin oleh Mr. Johan Van Dam. Untuk mengelabui prajurit Gowa, semua armada langsung ke Ambon sebagai upaya untuk memancing amarah Prajurit Gowa. Setelah itu barulah mereka menyerbu Somba Opu

Bulan Juni 1666 terjadilah pertempuran hebat di perairan Somba Opu. Belanda mengirim sebanyak 22 kapal perang dengan kekuatan 1604 serdadu ditambah dengan 700 serdadu pembantu dari Jawa dan Madura, Ambon dan lainnya.

Ketika melakukan serangan ke benteng panakkukang, Belanda pura-pura menuju ke utara seolah-olah hendak menyerang benteng Somba Opu tempat kediaman Sultan. Serangan besar-besaran yang telah dilancarkan oleh Belanda itu, akhirnya pada 12 Juni 1668 Belanda berhasil merebut Benteng Panakkukang. Prajurit Kerajaan Gowa tidak tinggal diam, dipimpin langsung oleh Karaeng Galesong dan Karaeng Bontomarannu terus melakukan perlawanan. Pertempuran yang berlangsung selama 2 hari telah banyak menelan korban. Akhirnya kedua belah pihak sepakat melakukan gencatan senjata.

Setelah gencatan senjata, kedua belah pihak masing-masing menyusun strategi dan memperkuat armadanya, nafsu Belanda untuk menguasai Gowa maka di utuslah Speelman dari Batavia pada 24 November 1666 menuju Benteng Somba Opu. Mereka diperkuat dengan 21 kapal perang dan 600 tentara, didukung sekitar 400 pasukan pimpinan Arung Palakka dan Kapten Jongker dari Ambon.

Armada Belanda tiba di Somba Opu pada tanggal 15 Desember 1666 dan keadaan Gowa semakin tegang, para pedagang pun menghentikan kegiatannya. Ketika utusan Speelman menghadap Sultan untuk menyampaikan tuntutan agar Sultan menyerah saja dan bersedia membayar ganti rugi ke pihak Belanda akibat perang terdahulu, ternyata tuntutan Spellman itu hanya taktik belaka untuk memulai peperangan.

Tapi Sultan Hasanuddin dengan berani menjawab : Bila kami diserang, maka kami mempertahankan diri dan kami menyerang kembali dengan segenap kemampuan yang ada. Kami di pihak yang benar. Kami ingin mempertahankan kebenaran dan kemerdekaan kami. Pagi itu, sekitar Tgl 21 Desember 1666, Speelman mengibarkan bendera merah pertanda perang siap dimulai, dentuman meriam pun mulai menghantam benteng satu persatu, dan kemudian dibalas oleh prajurit Kerajaan Gowa. Semangat juang dari prajurit Gowa semakin berkobar, Armada perahu kecil yang disebut armada semut sekali-kali melakukan penyerangan terhadap kapal Belanda. Perlawanan yang gigih dari prajurit Gowa telah mampu memukul basis pertahanan Belanda.

Bulan Juni 1667 Speelman bersama Sultan Mandarsyah yang membawa pasukan Ternate Bacan dan Tidore bergabung dengan pasukan Arung Palakka dan kapten Jongker. Dengan kekuatan dari Belanda itu, akhirnya pada tanggal 7 Juli 1667 setelah sekitar 7000 pasukan Kerajaan Gowa melakukan serangan mendadak terhadap pasukan Belanda dan sekutunya. Empat hari kemudian, Belanda baru berhasil memasuki Perairan Kerajaan Gowa, tanggal 19 Juli perairan Makassar sudah dipenuhi kapal-kapal Belanda dan Benteng Somba Opu di kepung.

Ketika Benteng Somba Opu di kepung, Sultan Hasanuddin dan Raja Tallo Sultan harun Al Rasyid yang langsung memimpin perlawanan itu. Beliau berada di barisan terdepan memimpin pasukan, disusul beberapa pasukan Tubarani seperti Karaeng Galesong, I Fatimah Daeng Takontu serta pembesar kerajaan lainnya. Para panglima perang di tebar di beberapa benteng pertahanan, pada tanggal 17 Agustus 1667 pagi, benteng Galesong diserang dengan meriam Belanda. Ketika lumpuh, Belanda lalu membakar gudang beras di Galesong dan Barombong. Perlawan yang digencarkan para Tubarani dengan membalas dentuman Anak Mariam Mangkasara membuat Belanda kocar-kacir, demikian halnya pasukan Arung Palakka berhasil dipukur mundur.

Atas serangan balasan itu, Speelman memperkuat pasukannya. 5 armada kapal perang didatangkan dari Batavia yang dipimpin komandan Kapten P. Dupon. Dari kekuatan itu Belanda lalu menyerang Benteng Barombong.

Tanggal 5 November 1667 Speelman melapor ke Batavia bahwa pasukannya sudah payah, semangat tempur merosot, 182 orang serdadu dan 95 matros jatuh sakit, Pasukan Buton, Ternate, dan Bugis banyak diserang sakit perut, belum lagi yang mati di medan perang, Speelman minta lagi dikirim pasukan baru. Atas bantuan pasukan baru itu, anak benteng pertahanan satu demi satu direbut Belanda. Sultan Hasanuddin pun merasa sedih, karena yang dihadapi tak hanya musuh, tetapi juga dari sesama bangsa sendiri, yakni dari Bugis, Ternate, dan Buton.

Dalam kondisi demikian, datang perutusan Speelman agar Sultan bersedia berunding dan perangpun harus dihentikan. Atas pertimbangan yang arif dan bijaksana dari Sultan, akhirnya kedua belah pihak melakukan perundingan di Bungaya dekat Barombong, setelah beberapa hari dilakukan perundingan, akhirnya pada hari Jum’at 18 November 1667 tercapailah suatu kesepakatan yang ditandai dengan penandatanganan Perjanjian Bungaya atau lazim disebut Capaya ri Bungaya.

Atas penandatanganan Perjanjian Bungaya itu, banyak pembesar Gowa tak setuju, seperti Karaeng Galesong, Karaeng Bontomarannu, Karaeng Karunrung, I Fatimah Daeng Takontu, juga raja dari negeri sekutu Gowa seperti dari Wajo, Mandar, dan Luwu. Mereka siap angkat senjata dan meneruskan perlawanan kapan dan dimana saja. Tanggal 5 Agustus 1668 Karaeng Karunrung menyerang Benteng Ujung Pandang tempat Speelman bermarkas, dalam serangan itu Arung Palakka nyaris tewas.

Menurut catatan Speelman, dalam pertempuran melawan Gowa, banyak orang Belanda yang mati dan terluka. Setiap hari 7-8 orang belanda dikuburkan. Speelman jatuh sakit, 5 dokter dan 15 pandai besi meninggal. Tenaga bantuan dari Batavia hanya 8 orang yang sehat, dalam 4 minggu sebanyak 138 serdadu yang mati di Benteng Ujungpandang, dan 52 orang mati di atas kapal.

Tanggal 24 Juni 1669 Benteng Somba Opu dikuasai oleh Belanda, Belanda meyita sebanyak 272 pucuk meriam termasuk Meriam Anak Mangkasara yang disita Speelman. Benteng Somba Opu kemudian di bumi hanguskan dengan ribuan kilo amunisi dan berhasil menjebol dinding benteng setebal 12 kaki. Ledakan itu membuat udara diatas benteng memerah dan tanah seperti gempa. Mayat bergelimpangan dimana-mana. Semua istana yang ada di benteng dibumihanguskan akhirnya Benteng Somba Opu jatuh terhormat ke tangan Belanda.

Para pembesar kerajaan yang tak setuju atas Perjanjian Bungaya tak mau kalah, selamjutnya bertekad untuk melanjutkan perjuangan di Tanah Jawa dalam membantu perjuangan Raja Banten Sultan Ageng Tirtajasa dan Raja Mataram Raden Trunujoyo.

SEJARAH KELAHIRAN MAKASSAR

Posted by PMTS Makassar 00.16, under | No comments

    
    Sampai pada abad X, sejarah negeri Makassar masih gelap dan sangat kurang tanda-tanda yang dapat memberikan harapan akan tersingkapnya masa gelap abad-abad lalu itu, Gowa ataupun makassar belum di temukan jejak-jejaknya pada abad XI dan bahkan sampai abad XII. Barulah kemudian, sebuah buku dari peradaban di Pulau Jawa, Negarakretagama yang di tulis prapanca pada masa Gadjah Mada (1364), di temukan perkataan Makassar. Dalam buku itu disebutkan, bahwa daerah taklukan kerajaan Majapahit juga meliputi Makassar.
   Beberapa petikan kalimat yang menyebut tentang negeri-negeri di Sulawesi Selatan yang menjadi daerah taklukan Kerajaan Majapahit sebagai berikut :

Muah tanah i Bantayan pramuka Bantayan len Luwuk Tentang Udamakatrayadhi nikanang sanusaspupul Ikangsakasanusa Makassar Butun Banggawi Kuni Craliyao Nwangi Selaya Sumba Soto Muar, dsb

Maksudnya :

Seluruh Sulawesi Selatan menjadi daerah keempat kerajaan Majapahit yaitu : Bantayan (Bantaeng), Luwuk (Luwu), Udamakatraya (Talaud), Makassar (Makassar) Butun (Buton), Banggawi (Banggai), Kunir (Pulau Kunyit), Selaya (Selayar), Solot (Solor), dan seterusnya.

    Apakah yang dimaksud Makassar dalam Negarakertagama itu adalah sebuah negeri, seperti yang di pahami dengan tempat, yang di sebut kota makassar sekarang? tidak di temukan penjelasan lebih lanjut. Tetapi bila di maksud Makassar sebagai sebuah negeri adalah jelas, seperti halnya Bantayan (Bantaeng), Butun (Buton) dan sebagainya, niscaya letaknya di Sulawesi Selatan.
    Tahun 1479, runtuhnya negara Majapahit sebagai organisasi politik yang meliputi Tanah Air Indonesia berarti lumpuh dan lajunya peradaban kehidupan pada permulaan abad XVI. Dengan segera peradaban Indonesia dalam zaman peralihan ini di susun kembali oleh bangsa Indonesia dengan menurutkan pengaruh baru yang berpusat rohani kepada agama Islam dan kristen yang mulai berkembang abad XVI, maka peruntuhan Majapahit dalam waktu yang lamanya kira-kira tiga perempat abad, dapatlah disusun kembali di sekeliling Mataram di Jawa Tengah.
   Pertentangan menghadapi kekuasaan penjajahan Spanyol, Portugis, dan Belanda menjalankan tekanan dan tusukan yang barulah berakhir setelah pergerakan kemerdekaan Nasional mendapat kemenangan pada hari Proklamasi 1945. Dengan segera peradaban Indonesia dalam zaman peralihan ini (permulaan abad XVI), disusun kembali oleh bangsa Indonesia dengan mengikuti pengaruh baru yang berpusat rohani kepada Islam dan Kristen menunjukkan dengan jelas bahwa Makassar dengan pasti ikut serta dalam penyusunan nasional di bagian Nusantara, dengan menerima serta menghayati pengaruh baru itu, yang berpusat rohani pada ajaran Islam.
    Adapun tonggak peristiwa yang terpenting bagi kota Makassar dalam menyatakan diri pada pengikutsertaan itu ialah 9 November 1607.  Dipandang dari sudut hasrat orang Makassar untuk menyatakan dan menghormati peristiwa penting itu, dapat di jumpai pada ungkapan-ungkapan mereka terhadap peristiwa tersebut dengan hanya menyebut :

      Nanikana Mangkasara’, Ka-Nabbija Mangkasara’ Anrini !
      Maka disebut Makassar, karena di sinilah Nabi, menyatakan diri.

   Kalimat tersebut menyatakan suatu realita penjelmaan ajaran Muhammad Rasulullah di negeri ini. Di makassar-lah realita itu dimulai. Kegemaran orang Makassar dalam mengunakan ungkapan-ungkapan dalam bahasanya, sudah banyak di ketahui dan sampai hari ini pun kegemaran itu masih terpelihara. Bahwa demikian mendalamnya tertanam dalam kalbu orang Makassar hubungan kota Mangkasara’-nya ajaran Nabi Muhammad dalam realita kehidupan mereka, sehingga mereka pun memertalikannya dengan kebesaran dan kedalaman ilmu yang dimiliki oleh Syech Yusuf, mereka katakan :

     Umbarang nia inja Nabbi Ribokoanna Nabbi Muhamma’
     Tuanta Salama ka mintu nabbi Ribokoanna.
     Andai kata masih ada Nabi sesudah Nabi Muhammad
     Maka tuwanta Salamaka Syech Yusuf nabi sesudahnya.

    Bilamana kota Makassar hendak menemukan dirinya dalam semangat nasional, dan menempatkan dirinya dalam mata rantai atau kerangka bangunan babakan waktu sejarah yang mempunyai akarnya pada semangat nasional, maka 9 November 1607 itulah yang patut di tetapkannya sebagai hari kehadirannya. Dalam rangka semangat Makassar 9 November 1607, dengan segala rasa kagum dapat memerhatikan betapa sebuah ibu kota menjadi pusat kecintaan rakyat seluruh wilayah kerajaan.
    Betapa banyak dicatat dalam lontara’ dan arsip-arsip Belanda, bahwa hampir semua peristiwa yang menyangkut hubungan negeri ini keluar, kota Makassar-lah yang di depankan namanya. Tempat baginda raja-raja Gowa bersemayam dalam kasteel Somba Opu di Kota Makassar.
    Ujungpandang atau Jumpandang, adalah salah satu bagian kecil dari bandar Makassar dalam semangat 9 November 1607. Barulah setelah perjanjian Bongaya (18 November 1667), ketika Belanda menduduki Benteng Ujung Pandang dan mengganti namanya menjadi Vlaardingen, semuanya itu untuk memeringati jasa Speelman, maka di sekitar tempat-tempat itulah menjadi pusat kegiatan dan keramaian. Bagian inilah bersama daerah-daerah perkampungan sekitarnya yang di sebut Bontoala dan Kanrobosi, menjadi peserta yang terpenting dalam pembangunan baru yang di selenggarakan oleh Belanda
    Semua bagian yang ramai itu, yang berpusat pada kota Vlaardingen, karena sukarnya disebut lidah Makassar, maka kabarnya ada yang menyebutnya Palandingang, tetapi sebagaian besarnya menyebut Ujung Pandang saja. Orang-orang Bugis dari pedalaman terutama orang Bone yang mengikuti kebesaran Bone berpindah ke Bontoala, menyebut bagian kota Makassar yang di duduki Belanda dan Arung Palakka, Juppandang/Jumpandang, yang menjadi pusat kegiatan politik ekonomi berada di bawah pengaruh dan kekuasaan Belanda.
     Karena Jumpandang menjadi pusat kekuasaan Belanda di negeri ini yang sudah di rubah namanya menjadi Fort Rotterdam dan Vlaardingen, maka Jumpandang-lah dalam waktu singkat berikutnya menjadi sebutan umum masyarakat yang meliputi wilayah bekas ibu kota kerajaan kembar (Gowa-Tallo) dikurangi daerah-daerah bekas Benteng Somba Opu, Mangallekana, dan Panakkukang yang telah menjadi kampung-kampung sepi dan mati.
    Ketika Belanda dapat menstabilisir keadaan di kota ini dan tersusunnya organisasi kekuasaan Hindia-Belanda, maka pada 1 April 1906, Makassar dalam isi seperti itu dijadikan gemeente dalam struktur organisasi kekuasaan Hindi-Belanda. Dalam semangat kolonial, kota makassar di sempitkan ke pengertian Ujung Pandang dan kampung-kampung sekitarnya, agar terhapus kenangan kepada Makassar dalam arti yang sesungguhnya.
   Tetapi dalam semangat Nasional, yang bertitik tumpu pada tonggak peristiwa 9 November 1607, Makassar adalah Bandar niaga Makassar, yang berwilayah dari Panakkukang di Selatan sampai Mangara’bombang di ujung Timur Tallo dan Somba Opu menjadi titik sentralnya. Dalam semangat itu, kita bertolak dari Makassar ke Makassar dalam arti sesungguhnya.  
    Kerajaan Gowa adalah kerajaan terbesar dan terkuat di kawasan Indonesia timur. Kerajaan yang didiami oleh etnis suku mangkasara’ yang berjiwa penakluk namun demokratis dalam memerintah gemar berperang dan jaya di laut. Tak heran pada abad ke-14-17, dengan simbol Kerajaan Gowa, mereka berhasil membentuk satu wilayah kerajaan yang luas dengan kekuatan armada laut yang besar berhasil membentuk suatu Imperium bernafaskan ISLAM, mulai dari keseluruhan pulau Sulawesi, kalimantan bagian Timur, NTT, NTB, Maluku, Brunei, Papua dan Australia bagian utara. Mereka menjalin Traktat dengan Bali, kerjasama dengan Malaka dan Banten dan seluruh kerajaan lainnya dalam lingkup Nusantara maupun Internasional (khususnya Portugis). Kerajaan ini juga menghadapi perang yang dahsyat dengan Belanda hingga kejatuhannya akibat adu domba Belanda terhadap kerajaan taklukannya.
    Berbicara tentang Makassar maka adalah identik pula dengan suku Bugis yang serumpun. Istilah Bugis dan Makassar adalah istilah yang diciptakan oleh Belanda untuk memecah belah. Hingga pada akhirnya kejatuhan Kerajaan Makassar pada Belanda, segala potensi dimatikan, mengingat suku ini terkenal sangat keras menentang Belanda. Di mana pun mereka bertemu Belanda, pasti diperanginya. Beberapa tokoh sentral Gowa yang menolak menyerah seperti Karaeng Galesong, hijrah ke Tanah Jawa. Bersama armada lautnya yang perkasa, memerangi setiap kapal Belanda yang mereka temui. Oleh karena itu, Belanda yang saat itu dibawah pimpinan Spellman menjulukinya dengan "Si-Bajak-Laut".

Sabtu, 24 Desember 2011

AKSARA LONTARA

Posted by PMTS Makassar 07.02, under | No comments

Daeng Pamatte’ lahir di Kampung Lakiung (Gowa). 
Beliau adalah salah seorang tokoh sejarah Kerajaan Gowa yang tidak dapat dilupakan karena karya besar yang ditinggalkannya. Bagi masyarakat Sulawesi Selatan.
Menyebut nama Daeng Pamatte’, orang lantas mengingat karyanya yaitu Aksara Lontara. Dia dikenal sebagai pencipta Aksara Lontara dan pengarang buku Lontara Bilang Gowa Tallo. Pada masa Kerajaan Gowa diperintah Raja Gowa ke IX Karaeng Tumapa’risi Kallonna.
Pada Masa Itu Daeng Pamatte’ sebagai seorang pejabat yang dikenal karena kepandaiannya. Tidak heran apabila ia dipercaya oleh Baginda untuk memegang dua jabatan penting sekaligus dalam pemerintahan yaitu sebagai “sabannara” (syahbandar) merangkap “Tumailalang” (Menteri Urusan Istana Dalam dan Luar Negeri) yang bertanggung jawab mengurus kemakmuran dan pemerintahan Gowa.


Lahirnya Aksara Lontara

Lahirnya karya bersejarah yang dibuat “Daeng Pamatte” bermula karena ia diperintah oleh Karaeng Tumapa’risik Kallonna untuk mencipta hurup Makassar. Hal ini mungkin didasari kebutuhan dan kesadaran dari Baginda waktu itu, agar pemerintah kerajaan dapat berkomunikasi secara tulis-menulis, dan agar peristiwa-peristiwa kerajaan dapat dicatat secara tertulis.

Maka Daeng Pamatte’ pun melaksanakan dan berhasil memenuhinya. Dimana ia berhasil mengarang Aksara Lontara yang terdiri dari 18 huruf . 

Lontara Jangang-Jangang (burung).
Ciptaan Daeng Pamatte ini dikenal dengan istilah Lontara Tua (het oude Makassarche letters chrif) dan disebut Lontara Jangang Jangang karena bentuknya seperti burung. Jenis aksara Lontara yang pertama sebagaimana disebutkan diatas adalah Lontara Jangang-Jangang atau Lontara Tua. Aksara itu tercipta dengan memperhatikan bentuk burung dari berbagai gaya, seperti burung yang sedang terbang dengan huruf “Ka” burung hendak turun ke tanah dengan huruf “Nga”, bentuk burung dari ekor, badan dan leher dengan lambang huruf “Nga”. Lontara Jangang-Jangan ini digunakan untuk menulis naskah perjanjian Bungaya.

Lontara Bilang
Kemudian Lontara Jangang-Jangang ini, mengalami perkembangan dan perubahan secara terus menerus sampai pada abad ke XIX. Perubahan huruf tersebut baik dari segi bentuknya maupun jumlahnya yakni 18 menjadi 19 dengan ditambahkannya satu huruf yakni “ha” sebagai pengaruh masuknya Islam. (Monografi Kebudayaan Makassar di Sulawesi Selatan 1984 : 11). Kemudian akibat dari pengaruh Agama Islam sebagai agama Kerajaan Gowa, maka bentuk huruf pun berubah mengikuti simbol angka dan huruf Arab, seperti huruf Arab nomor 2 diberi makna huruf “ka” angka Arab nomor 2 dan titik dibawak diberi makna “Ga” angka tujuh dengan titik diatas diberi makna “Nga”, juga bilangan arab lainnya yang jumlahnya 18 huruf . Aksara Lontara ini disebut juga Lontara Bilang-Bilang (Bilang-Bilang = Hitungan). Lontara Bilang-Bilang ini diperkirakan muncul pada abad 16 yakni pada masa pemerintahan Raja Gowa XIV Sultan Alauddin (1593-1639). 


Lontara Belah Ketupat 
Dalam perkembangan selanjutnya, terjadi lagi perubahan (penyederhanaan) dengan mengambil bentuk huruf dari Belah Ketupat (Sulapa Appa). Siapa yang melaksanakan penyederhanaan Aksara Lontara : 
  • Menurut HD Mangemba, tidaklah diketahui tetapi berdasarkan jumlah aksara yang semula 18 huruf dan kini menjadi 19 huruf, dapat dinyatakan bahwa penyederhanaan itu dilakukan setelah masuknya Islam. Huruf tambahan akibat pengaruh Islam dari bahasa arab tersebut, huruf “Ha”. 
  • Menurut Mattulada berpendapat bahwa justeru Daeng Pamatte jugalah yang menyederhanakan dan melengkapi lontara Makassar itu, menjadi sebagaimana adanya sekarang


Dari ke-19 huruf Aksara Lontara itulah, kemudian dalam perkembangannya untuk keperluan bahasa ditambahkan empat huruf, yaitu ngka, mpa, nra dan nca sehingga menjadi 23 huruf sebagaimana yang dikenal sekarang ini dengan nama Aksara Lontara Belah Ketupat.